Elang Jawa dengan nama ilmiahnya Spizaetus bartelsi adalah burung asli Indonesia. Usaha mengidentifikasi elang ini terus dilakukan pada tahun 1924, Prof Dr E Stresemann seorang pakar burung dari Jerman memperkenalkan jenis ini Burung ini termasuk spesies elang berukuran sedang, dengan panjang sekitar 60 cm dengan jambul menonjol. Pada Elang Jawa dewasa terdapat jambul, mahkota dan garis kumis hitam; bagian sisi kepala dan tengkuk merah coklat; punggung dan sayap coklat gelap; ekor coklat bergaris-garis hitam; kerongkongan putih dengan bagian tengah bergaris-garis hitam. Sedangkan bagian bawah lainnya keputih-putihan bergaris merah sawo matang. Burung yang belum dewasa keputih-putihan atau kemerah-merahan pada bagian bawahnya dan tanpa garis atau coretan. Ditemukan pula bentuk peralihan. Biasanya pada Elang Jawa paruhnya berwarna kehitam-hitaman dan kakinya tidak berbulu Spesies ini termasuk yang terancam punah secara global karena diperkirakan tinggal 600 – 900 ekor.
Elang Jawa paling sering dijumpai pada ketinggian antara 500 m – 1500 m di atas permukaan permukaan laut (dpl) dan di hutan alam (48%) dari pada hutan tanaman. Elang Jawa menyukai pohon yang tinggi menjulang, sehingga dapat digunakan untuk mengincar mangsa ataupun sebagai sarang. Ia biasanya melakukan hal-hal tersebut di pohon Rasamala (Altingia excelsa), Litocarpus, Quercus, Pinus (Pinus merkusii), Puspa (Schima Wallichi), Saninten (Castaopsis agentea), Hantap (Streculia sp.), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Ipis Kulit (Acmena acuminat issima), dan Manglid (Magnolia blurnei). Karena, pada umumnya pohon-pohon tersebut mempunyai ukuran tinggi dan bentuk dahan yang strategis untuk sarang Elang Jawa.Pada umumnya, sarang Elang Jawa ditemukan di lereng dengan kemiringan sedang sampai curam pada ketinggian tempat di atas 800 m dpl, dengan dasar lembah memiliki anak sungai. Hal ini berkaitan dengan besarnya kesempatan untuk memperoleh mangsa dan memelihara keturunannya.
Daya jelajah Elang Jawa sangat bervariasi, antara 2 km2 – 20 km2. Berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Pribumi Alam Lestari (YPAL) di Gunung Jagat dengan luas 1.26 km2 dijumpai sekitar satu pasang Elang Jawa. Sedangkan di Cagar Alam Gunung Simpang dengan luas 150 km2 dijumpai sekitar enam pasang. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa Elang Jawa memiliki kemampuan adaptasi yang cukup baik.
Elang Jawa juga banyak ditemukan di hutan-hutan lebat seperti di Gunung Muria, Gunung Merapi, Gunung Slamet, Gunung Unggaran, Gunung Tangkuban Perahu dan sejumlah tempat lainya. Yang membedakan sosok eksotis Elang Jawa dengan jenis elang lainya seperti elang Brontok Intermediate (Spizaetus cirrhatus), Elang Hitam (Ictynaetus malayensis), dan Elang Ular Bido (Spilornis cheela) adalah dua jambul yang mendongak di atas kepala burung dan bulu primer yang selalu menutup sehingga menghasilkan pola loreng di tubuhnya.
Rata-rata, burung raptor jarang mempunyai anak atau kalaupun ada anaknya pun snagat sedikit. Demikina juga dengan elang jawa yang berkemabang biak setiap dua tahun sekali dengan anak yang umumnya hanya satu ekor. Elang Jawa berkembang biak pada umur 3-4 tahun dengan masa mengerami 44-48 hari. Musim kawin pada Elang Jawa terjadi biasanya antara akhir bulan Januari hingga Mei. Pada anak Elang Jawa, umur 27-30 minggu atau 7 bulan telah dapat terbang dan mulai belajar mematikan mangsa. Pada usia tersebut ia telah dapat membuat delapan variasi suara, sehingga ia dapat melakukan komunikasi dengan baik.
Pada umumnya, elang jawa memangsa satwa yang mudah ditemukan seperti jenis tupai (Callosciurus sp dan Tupai sp), anak Kera Ekor Panjang (Macaca fascucularis), Jalarang (Ratufa bicolor), dan burung-burung kecil lainya. Selama ini, Elang Jawa tidak pernah terlihat mengejar mangsa di udara, karena ruas kaki Elang Jawa terlalu pendek, sehingga tidak mampu menangkap mangsa yang dapat terbang di udara.
Elang Jawa berkembang biak sangat sedikit. Selain itu, ia merupakan mata rantai makanan yang tertinggi. Jadi, ia dapat dijadikan sebagai indikator bagi kelestarian lingkungan. Apabila Elang Jawa berkurang atau punah, itu artinya lingkungan telah mengalami kerusakan. Seperti menurunnya daya dukung sistem penyangga kehidupan dengan terjadinya longsor, banjir, kekeringan, iklim mikro yang buruk, dan yang sedang kita rasakan adalah musim yang tidak menentu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar